Selasa, 31 Januari 2017

DI BALIK PORTAL part 2

Sebelumnya : DI BALIK PORTAL part I


Nyaris saja Karina tercebur ke telaga karena terkejut.


Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki sebayanya berdiri di belakangnya, memandanginya dengan kening berkerut. Rambutnya yang ikal berwarna cokelat, hidungnya mancung, dengan mata sedalam dan sebiru warna air telaga. Karina sampai melongo, tak sanggup menjawab. Dari mana datangnya lelaki ini?

“Hei! Ditanya baik-baik kok diam saja? Mau apa kamu di sini?”ulang laki-laki itu.

Karina menelan ludah, berusaha menghilangkan kekagetannya. “Aku mencari kucingku, tapi aku tersesat. Aku haus, karena itu aku berhenti sebentar untuk minum,” jawab Karina. “Kenapa memangnya? Tidak boleh?”

Lelaki itu mengangkat bahu. “Siapa yang melarang? Aku bukan pemilik telaga ini. Memangnya kamu datang dari mana? Aku tidak bertemu dengan siapapun tadi di jalan.”

“Aku datang dari…” Karina memandang berkeliling, tak yakin harus menunjuk arah mana, “entahlah. Aku kan sudah bilang, aku tersesat. Tahu-tahu saja aku menemukan telaga ini.” Ia berhenti sejenak, mengamati laki-laki di depannya, lalu bertanya,” Kamu siapa?”

“Aku Willem. Tadi kau tidak lewat jalan setapak?”

Karina menggeleng. “Aku asal berlari saja, mengejar kucingku. Memangnya harus lewat jalan setapak, ya?”

Willem menggerundel. Lamat-lamat Karina mendengar kata “ceroboh”. “Siapa namamu?” tanya Willem kemudian.

“Karina. Kau tinggal di sini?”

“Itu rumahku.Willem menunjuk sebuah rumah putih bergaya kolonial yang terletak agak jauh di seberang telaga. Sebuah jalan setapak menjulur dari halaman rumah itu hingga masuk jauh ke dalam hutan pinus tempat Karina datang tadi. Tak urung Karina bertanya-tanya dalam hati.
Inikah ujung jalan setapak yang membuatnya penasaran selama ini?

“Katamu kau mencari kucingmu. Apakah kucingmu bulunya hitam, dengan mata kanan berwarna biru, dan mata kiri coklat?” tanya Willem.

Karina terbelalak. “Iya! Benar! Bagaimana kau tahu?”

“Dia ada di rumahku. Sebentar, kuambil dulu. Tunggu di sini,” jawab Willem sambil beranjak. “Jangan ke mana-mana!” perintahnya.

Karina menunggu dengan patuh. Tak berapa lama, Willem kembali sambil menggendong Ollie. Kucing hitam itu mendengkur nyaman dalam pelukan Willem. Laki-laki itu terkekeh sambil mengangsurkan Ollie ke dalam gendongan Karina, “Kucingmu manja sekali. Setelah kuberi makan tadi, dia tidur terus. Kalau tidak kuangkat dari keset tempatnya tidur, dia pasti tidak bangun-bangun.”

Karina ikut tertawa, lega. “Ayo pulang, Ollie. Eyang pasti sudah khawatir,” katanya sambil memeluk Ollie. Kucing hitam itu mengeong lembut.

“Ayo, kuantar kau,” ajak Willem sambil beranjak.

“Tak usah. Tunjukkan saja jalan setapak yang kau sebut tadi. Aku bisa pulang sendiri,” sahut Karina dengan suara digagah-gagahkan. Sekarang saja degup jantungnya sudah meliar tak keruan gara-gara Willem. Apa jadinya bila Willem mengantarnya pulang? Wajah Karina menghangat. Ia yakin ia akan mengoceh tak keruan atau bertingkah konyol saking gugup dan malunya.

Kening Willem berkerut lagi. “Sudah hampir gelap. Hutan ini berbahaya setelah matahari terbenam. Sudah, jangan membantah. Aku akan menemanimu.”

Karina memandang langit. Betapa cepat waktu berlalu! Baru saja rasanya cahaya keemasan matahari mencumbui permukaan telaga, kini langit sudah berwarna biru gelap. Beberapa bintang berkerlip. Ia tak punya pilihan lain. Karina mengangguk.

Willem berjalan di samping Karina, mengarahkannya ke jalan setapak. Dalam keremangan cahaya senja, jalan setapak itu tampak mengeluarkan sinar lembut, membedakannya dengan lantai hutan di kiri-kanannya. Bahkan tanpa alat penerangan apapun, mudah saja melalui jalan itu.

Bulan purnama terbit di langit. Cahayanya yang keperakan menerangi rambut dan wajah Willem, mengukir lekuk-liku wajahnya yang sempurna, membuatnya tampak seperti pangeran dalam kisah-kisah dongeng. Dengan susah-payah Karina menahan diri agar tidak melongo menatap Willem, namun yang dipandangi tampaknya tak menyadari efek sinar bulan pada penampilannya.

Sepanjang jalan Karina merasa pipinya panas. Seperti sudah diduganya, mulutnya tak bisa berhenti bicara. Apa saja diceritakannya pada Willem. Bisa saja lelaki itu menyuruhnya diam kalau dia bosan mendengar ocehan Karina. Tapi tidak. Lelaki itu mendengarkan dengan seksama, menanggapinya dengan senyum, dan komentar kecil di sana-sini. Ia membuat Karina nyaman bercerita. Rasanya seakan-akan ia sudah mengenal Willem seumur hidupnya.

Entah berapa lama mereka berjalan, tiba-tiba seberkas awan menutupi bulan. Sekeliling mereka mendadak gelap-gulita. Willem menghentikan langkah. Ia menegakkan kepala, waspada. Diedarkannya pandangan ke sekeliling hutan. Karina mengikuti pandangan Willem, tapi tak ada yang tertangkap matanya. Ia hanya mendengar gemerisik yang makin lama makin keras, sepotong-sepotong percakapan bernada tegang yang tak bisa dipahaminya, dan geraman rendah anjing-anjing besar.

Ada yang mengikuti mereka! Tapi siapa? Siapapun itu, mereka tak terlihat karena selalu bergerak dalam kegelapan hutan.

Willem menarik lengan Karina. “Tetap di tengah jalan, supaya mereka tak bisa menjangkaumu,” perintahnya. Pandangannya terus beralih-alih ke arah hutan pinus. “Ayo. Makin cepat kau keluar dari sini, makin baik.”

Karina mempercepat langkah. Tak mudah, karena jalan setapak itu tak rata dan ia harus memeluk Ollie erat-erat agar tak kabur lagi. Kucing itu menyurukkan kepalanya dalam-dalam, gemetar ketakutan dalam gendongan Karina, membuat gerakan Karina makin canggung karena gugup. Willem berjalan cepat di sampingnya. Beberapa kali lelaki itu harus menahan siku Karina agar ia tidak jatuh terjerembab.

Bulu kuduk Karina meremang. Kini suara gemerisik ditingkahi bunyi langkah-langkah kaki yang mengiringi langkah mereka. Asalnya dari kiri dan kanan jalan setapak. Suara dengus dan geraman makin keras, seakan-akan anjing-anjing besar beserta tuan mereka berlari tepat di sisi jalan setapak. Sesekali terdengar suara rahang yang kuat dikatup-katupkan dengan buas. Sudah tak terdengar lagi suara percakapan. Walaupun begitu, Karina tak bisa mengenyahkan perasaan tak menyenangkan bahwa jumlah pengejar mereka sudah bertambah.

Kemudian, seperti hilangnya tadi, mendadak bulan bersinar lagi. Suara langkah kaki, geraman, dan dengusan lenyap bagaikan disapu angin. Untung saja. Karina terengah-engah kehabisan napas sambil melambatkan langkah. Willem ikut mengurangi kecepatannya.

Selama beberapa saat mereka berjalan berdampingan tanpa berkata-kata. Sesekali Karina melirik ke samping. Willem sudah tak setegang tadi, namun pandangan matanya ke arah hutan tetap waspada.

“Siapa mereka?” tanya Karina memecah kesunyian.

“Bukan ‘siapa’. Lebih tepatnya ‘apa’,” jawab Willem.

“Baiklah, mereka itu apa?”

Willem diam sejenak. “Aku tak tahu kau menyebut mereka apa. Mudahnya begini saja... mereka pemangsa, dan kau mangsa mereka. Mereka lapar, dan kau berkeliaran di depan hidung mereka. Daging dan darah segar. Siapa yang tak tergoda?” Willem terkekeh pelan. “Aku pun pasti takkan menolak hidangan lezat, kalau aku jadi mereka.”

Aku mangsa mereka? Kenapa hanya aku? Bagaimana denganmu?”

“Karena kamu manusia.”

“Memangnya kamu sendiri bukan manusia?”

Diam lagi. Tiba-tiba punggung Karina terasa dingin.

“Apa yang membuatmu berpikir aku manusia sepertimu, Karina?” tanya Willem dengan lembut.





4 komentar: