“Kenapa jalan ini ditutup
portal, Yang?” tanya Karina.
Rute jalan-jalan paginya
mendadak diakhiri oleh palang besi yang melintang di hadapannya. Entah
kebetulan atau tidak, jalan beraspal kasar yang dilaluinya bersama Eyang juga
persis berakhir di bawah portal itu. Selebihnya, di balik portal, jalan setapak
berkelok-kelok hingga lenyap di balik pohon-pohon pinus. Karina membayangkan
jalan itu membentang terus dan terus menembus hutan, hingga mencapai Gunung
Arjuno yang menjulang di kejauhan.
Eyang Kakung mengangkat
bahu. “Eyang juga tidak tahu. Setahu Eyang, sejak sebelum Eyang tinggal di
sini, jalan ini sudah ditutup. Mungkin karena jalannya terlalu berbatu-batu
untuk dilewati kendaraan. Sulit juga dilalui dengan berjalan kaki. Karena merepotkan,
akhirnya tidak ada yang lewat sini. Masih banyak jalan lain yang lebih mudah dilalui
kalau ingin naik ke kaki gunung.”
Karina menyandarkan tubuh
di palang besi itu sambil mengatur napas. Perjalanan ini murni idenya. Ia butuh
menjernihkan pikiran. Sidang perceraian Papa dan Mama sudah menjelang final.
Kurang satu sidang lagi, lalu mereka resmi bercerai. Karina tak bisa
memutuskan, ia ingin ikut Papa atau Mama. Siapa tahu sedikit berolah raga plus
udara segar bisa melipur gundahnya.
Tak disangka, dengan
santainya Eyang mengajukan diri menemaninya. Tadinya ia sempat khawatir
perjalanan ini akan melelahkan laki-laki sepuh itu. Ternyata dugaannya salah.
Justru ia yang terengah-engah kelelahan, sementara Eyang masih segar-bugar.
Melihatnya kehabisan napas,
Eyang tertawa. “Capek, ya? Kamu kurang olah raga, sih…”
Karina meringis. Untuk
menutupi rasa malu, ia pura-pura asyik memandangi jalan setapak di balik
portal. Entah di mana jalan itu berujung…
*****
Sekali lagi Karina
menemukan dirinya bersandar di palang besi itu. Kali itu bukan Eyang yang
menemaninya, melainkan Ollie, kucing hitam kesayangannya. Entahlah, di
saat-saat seperti ini rasanya hanya Ollie yang bisa memahaminya. Karina
tersenyum kecut. Mungkin karena hanya Ollie yang tidak mengacaukan hidupnya.
Karina menghela napas. Tadinya
ia tidak berniat datang ke situ. Begitu saja kakinya membawanya ke ujung jalan yang
terhalang portal itu. Sejak acara jalan pagi bersama Eyang tempo hari, tempat
itu menjadi semacam tempat favorit baginya. Tempatnya melarikan diri ketika
bahkan rumah Eyang tak lagi bisa menjadi tempat pelariannya dari Papa, Mama, dan
segala masalah mereka. Hanya tempat itu yang bisa memberikan ketenangan yang
dibutuhkannya untuk mengurai isi benaknya yang kusut-masai.
Setengah melamun sambil
membelai-belai bulu halus Ollie dalam dekapannya, Karina memandangi jalan
setapak di balik portal. Rasa ingin tahunya kembali muncul. Ingin rasanya
menyusuri jalan itu, sekedar tahu ke mana jalan itu akan membawanya. Karina
tersenyum kecut. Ia tahu, ia tidak boleh menyusuri jalan setapak menembus hutan
sendirian.
Sudut matanya menangkap
sesuatu bergerak di antara pohon-pohon pinus di hadapannya. Sejenak ia mengira
itu hanya perasaannya saja. Karena itu ia terkejut ketika Ollie meronta dalam
gendongannya, melepaskan diri, lalu melompat begitu saja menyeberangi portal,
mengejar apapun itu yang sedang bergerak menjauh di balik batang-batang pohon.
“Ollie! Ollie!” panggil
Karina, namun kucing hitam itu berlari terus seakan-akan tuli.
Sejenak Karina terpaku. Ia
harus mengejar Ollie. Ia tak berani mengambil resiko kucing kesayangannya itu
tersesat atau terluka. Namun melompati portal lalu memasuki hutan pinus
sendirian juga membuatnya ragu. Bagaimana kalau ada orang jahat mengintai di
balik pohon? Bagaimana kalau ia sendiri yang tersesat?
Ah, tapi ini kan masih
siang. Belum lagi tengah hari. Kalau ada apa-apa, tinggal angkat ponsel,
hubungi Eyang, beres. Diraihnya ponsel dari dalam sakunya. Sinyal penuh.
Baterai penuh. Aman.
Dilayangkannya pandangan
ke arah hutan pinus di hadapannya. Cahaya matahari tampak ramah menerangi
batang-batang pohon yang ramping. Tak ada tempat yang tak tersentuh sinar
matahari. Tak mungkin ada orang jahat yang bersembunyi di dalamnya.
Tanpa ragu lagi, Karina
memanjat portal, lalu mulai berlari mengikuti arah perginya Ollie, memasuki
hutan pinus.
*****
Entah sudah berapa lama
Karina berada dalam hutan pinus itu. Ia berjalan kini, sudah lelah berlari. Ia
lapar, haus, dan suaranya sudah nyaris habis karena sedari tadi berseru-seru
memanggil Ollie. Namun kucing hitam sialan itu tak kunjung muncul.
Ngomong-ngomong tentang
hutan pinus…
Karina kini menyesali
keputusannya melompati portal itu. Hutan yang tadi tampak jinak dan ramah kini
membuatnya nyaris putus asa. Ke manapun ia melangkah, rasanya ia hanya
berputar-putar, lalu kembali ke tempat yang sama. Tak ada penanda yang bisa
dijadikan patokan.
Jangan-jangan ia
benar-benar tersesat. Saatnya menghubungi Eyang. Diraihnya ponsel dari saku.
Semangatnya langsung padam melihat ponselnya hilang sinyal. Bagaimana pula
baterainya bisa nyaris habis sama sekali? Bukankah baru beberapa saat lalu
dilihatnya baterai ponselnya penuh?
Karina menghenyakkan
tubuhnya di tunggul sebatang pohon. Kedua tangannya memeluk lutut. Apa yang
harus dilakukannya? Ke mana ia harus pergi? Hutan ini tak terlalu lebat.
Letaknya pun tidak jauh dari perkampungan. Kenapa ia tak bertemu seorang pun?
Setengah mati ia menahan isak. Ia tak pernah merasa setakut ini sebelumnya.
Entah berapa lama ia
terduduk seperti itu. Tiba-tiba suara gemersik mengagetkannya. Ia memandang
berkeliling. Nun jauh di sana, sebuah semak bergoyang-goyang, seakan-akan ada
yang bersembunyi di baliknya.
Bulu kuduk Karina
meremang. Buru-buru ia bangkit, lalu beranjak. Mula-mula berjalan, lalu rasa
takut membuat kakinya berpacu lebih cepat, lebih cepat, hingga tanpa sadar ia
kembali berlari, masuk lebih jauh ke dalam hutan pinus.
Karina tak tahu berapa
lama atau berapa jauh ia berlari. Yang ia tahu, kakinya sakit sekali. Sambil
terengah-engah ia berhenti, bertumpu pada sebatang pohon pinus. Dari sela-sela
daun pinus, dilihatnya matahari sudah condong ke barat. Ia harus mencari jalan
pulang sebelum gelap. Lalu Ollie bagaimana? Dadanya terasa bagai diremas ketika
ia teringat Ollie, tapi ia tak tahu harus berbuat apa.
Ia kembali berjalan
tersaruk-saruk. Tanah menjadi makin tidak rata. Setelah melewati sebuah
tanjakan, Karina berhenti tiba-tiba. Di hadapannya terbentang sebuah telaga
yang indah dengan air biru jernih. Permukaannya memantulkan awan-awan yang
berarak di langit. Larik-larik keemasan cahaya matahari yang mulai condong ke Barat hilang-timbul
seiring gerakan riak-riak
air.
Karina tak ambil pusing
dengan keindahan di depan matanya itu. Air! Yang penting ada air! Baru kali ini
ia menyadari betapa hausnya ia. Tanpa pikir panjang, Karina menuruni lereng
yang landai, langsung ke tepi telaga, lalu mulai minum dengan rakus. Airnya
sejuk, dengan secercah rasa manis yang baru kali itu dirasakannya. Ia menghela
napas lega. Mendadak ia merasa segar kembali. Segala kekhawatiran dan
ketakutannya lenyap seketika.
“Kamu siapa?” sebuah suara mengagetkannya. “Mau apa
kau di sini?”
good post mbak. di tunggu jawabannya
BalasHapusSiap, Pak.
BalasHapusSemoga bisa segera tayang jawabannya.
Terima kasih.
Terima kasih juga mampirnya.